Hayat adalah sesuatu yang lebih besar daripada hidup ataupun nyawa itu sendiri. Ia membawa konotasi ruh dalam katanya. Konotasi yang menunjukkan pergolakan diri dalam suatu alam lain yang tak berkoridor. Di mana saat kau merelung ke dalam untuk mencoba merasakan hayat, maka tidak akan ada waktu di sana. Kau tidak akan berbicara mengenai umur, tua, ataupun muda. Di mana saat kau merelung ke dalam, kau hanya akan menjadi kau. Kau yang tanpa sakit, tanpa usia, kau yang tak membayangkan seperti apa wajah kau saat itu.

Saya ingat di malam itu saya bertemu dengan seorang bapak. Saya berada di belakangnya saat sedang duduk di dalam mesjid. Usianya sekitar tujuhpuluh tahun. Matanya sudah menguning. Kulitnya legam. Kerutan di wajahnya sangat jelas terpatri. Gigi depannya banyak yang hilang. Ia mengenakan kaos kampanye salah satu calon walikota Balikpapan yang sudah lusuh entah sejak tahun berapa. Pecinya juga lusuh. Telapak kaki kanannya terbungkus oleh kantong plastik pasar swalayan hingga ke mata kaki. Kantong itu basah dari dalam. Ia tentunya mengidap penyakit gula yang cukup parah dan tidak mendapat pengobatan yang sepantar. Dengan kaki seperti itu ia kesulitan berdiri dan selalu tertatih. Saat melihatnya kau akan tahu bahwa ia adalah tipikal seseorang renta yang akan membuatmu terhenyuk malu dan pilu. Bukan karena iba ataupun kasihan, namun malu melihat ketegaran yang masih menyala pada dirinya. Pada kesendiriannya ia masih duduk di situ. Ia masih berdoa kepada Penciptanya. Ia tidak mengutuk, ia tidak menangis. Ia dalam damainya. Rasa sayang seketika muncul untuk sosok di hadapan saya. Saya ingin mengenal bapak ini.

Pada awalnya banyak pertanyaan yang membumbung dalam kepala saya seperti mengapa ia sendiri, apa ia memiliki keluarga, dari mana asalnya, ada apa dengan kakinya, apa ia bekerja, dan lainnya namun tetap saya tak dapat memutuskan pertanyaan terbaik yang bisa saya berikan. Berikutnya saya sadar betapa sungguh kekanak-kanakan diri saya. Saya merasa malu. Ide-ide pertanyaan yang saya ajukan pada dasarnya mengarah pada satu pertanyaan: bagaimana ia menjalani hidup. Pertanyaan yang jelas didasari dengan praduga bahwa ia sulit menjalani hidup. Sebuah justifikasi keras dan egois. Saya akhirnya membungkam. Saya ingin bersikap dewasa. Saya ingin saya-yang tanpa umur-mengenal ia-yang juga tanpa umur. Setiap orang tentunya memiliki cerita masing-masing. Seharusnya tak ada yang lebih cela atau suci di antara kami. Kami lalu berbicara. Hari itu saya didengarkan cerita lebih dari cerita yang saya ingin dengar.

Apa yang saya tahu darinya ternyata berbeda dengan apa yang saya kira. Sang Bapak ternyata tidak mengeluh. Ia, dan orang-orang seperti ia lainnya, sama sekali tidak merasa tersindir dengan modernisasi. Orang-orang seperti mereka bukanlah golongan apatis yang tersingkir dan terkucilkan dari dunia walaupun kita mungkin menganggapnya demikian. Bahkan tidak ada satupun pernyataan darinya kritik terhadap dirinya maupun lingkungannya. Bagi mereka–yang menyebut dirinya berada pada akhir hayatnya–tidaklah penting untuk tahu bagaimana cara menggunakan komputer atau apa produk telepon seluler terbaru. Mereka akan membuat radius kenyamanan mereka sediri dan mengamankan diri mereka di dalamnya. Tak ada pencapaian-pencapaian serius yang ingin mereka tangkap di luar. Mengenai impian, sudah lama mereka membuangnya. Ambisi-ambisi dulu kini sudah mereka padamkan dan kubur dalam-dalam. Bagi mereka sekarang sudah bukan waktunya untuk masih bermimpi. Mimpi-mimpi itu seharusnya sudah dititipkan saja. Mereka akan lowong melihat dunia berputar walau tidak berpartisipasi dalam perputarannya. Ia mengakui bahwa mereka tinggal sejengkal lagi. Dan sejengkal inilah yang harus diisi tanpa penyesalan dan iri. Itu yang dapat membuat mereka damai dalam buminya tanpa merasa terancam.

Jikapun ada hal yang ia ingin tanyakan tentang dunia ini, adalah merupakan hal yang sederhana dan sangat menyentuh: apakah nilai kesopanan saat ini masih sama dengan apa yang ia kenal dulu. Apakah cara menjaga kehormatan saat ini masih sama dengan apa yang selalu ia jaga sejak dulu. Apakah arti dari sebuah perjuangan saat ini masih sama dengan apa yang sampai sekarang ia lakukan. Ia sadar bahwa ada hayat dalam dirinya yang masih layak untuk diisi setidaknya sejumput pelajaran. Di mana pelajaran ini bukan tentang peradaban dan kekecewaannya, melainkan pelajaran yang bisa didapatkan kapanpun ia, siapapun ia, dan di manapun ia berada. Sebuah pelajaran yang tak mengenal kata usang. Ia tidak butuh untuk menjadi pintar, ia hanya butuh untuk menjadi paham. Dan apabila jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu berlainan akankah ia murka ataupun kecewa? Tidak. Tidak ada makian yang terlontar. Tidak ada acungan jari ke dada bahwa ia yang paling benar. Tidak ada kata “dulu” dan tidak ada kata “seharusnya”. Ia menerima jawaban itu dengan perasaan lapang. Apapun kenyataannya, ia perlu tahu jawabannya. Jawaban inilah yang ia gunakan untuk mengisi hayatnya. Memastikan kedudukan hayatnya. Memberikan nilai kepada hayatnya. Mau itu puas atau tidak puas.

Pada akhirnya kita semua akan tahu bahwa dunia tidak sebesar apa yang dikatakan orang. Dunia sependek umur. Dunia sesempit mata memandang. Dunia adalah harga mati untuk makhluk yang temporal. Dari apa yang temporal ini paling tidak ia berharap dapat memberi arti pada hayatnya untuk lalu ditunjukkan kepada Yang Kekal.

Hayat adalah sesuatu yang lebih besar daripada hidup ataupun nyawa itu sendiri, namun sayang ia lebih sering ditempatkan pada bagian akhir dari “akhir” untuk menyatakan kematian. Hayat memang tidak seperti ide−sesuatu yang bulletproof dan tak bisa mati seperti yang dikatakan Alan Moore dalam buku V for Vendetta. Hayat berbeda. Ia memiliki titik habis. Namun bukan karena waktu atau usia atau nyawa, melainkan karena ketak-kekalannya. Hayat akan berakhir tanpa ada yang mengakhiri.

Balikpapan, 14 September 2011